Translate

Rabu, 16 Oktober 2013

Mahasiswa Aceh di Jogja Bakar Meriam Bambu Untuk Menyambut Lebaran Dan Mengecam Premanisme

Puluhan mahasiswa Aceh di Yogyakarta (14/10/2013) menyambut datangnya lebaran dengan mengadakan aksi bakar meriam bambu (beude trieng) dan makan bu prang (nasi perangdi Bale Gadeng yang beralamat di jalan Kartini No.1a Sagan Yogyakarta.

Tidak seperti biasa, karena selain untuk memeriahkan malam lebaran, Sebanyak 10 meriam bambu yang menggunakan bahan bakar karbit dan makanan perang ala Aceh yang dibungkus daun pisang tersebut sengaja disediakan dalam rangka menolak aksi premanisme yang marak terjadi di Yogyakarta. salah satunya yang terjadi di wisma Aceh Iskandar Muda yang terletak di jalan Poncowinatan baru-baru ini.

Pemilihan beude trieng dan bu prang yang merupakan peninggalan budaya zaman perang menurut kordinator acara Iskandar Ishak dimaksudkan sebagai tanda bahwa mahasiswa Aceh sangat mengecam praktek-praktek premanisme di kota pelajar Yogyakarta. “meriam pada malam ini kami namakan meriam anti preman, karena fungsinya untuk mengecam premanisme” ungkapnya saat aksi sedang berlangsung.

Sementara Kaisar Julizar salah seorang mahasiswa pascasarjana jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada yang hadir pada acara tersebut menjelaskan “orang Aceh itu pantang digertak, karena pada dasarnya mereka hidup tidak suka mengganggu orang lain, hidup mereka di Jogja seperti dalam pepatah Aceh, yaitu jak be lot tapak, duek be lot punggong (berjalan semuat telapak, duduk  semuat bokong)” ungkapnya dengan wajah serius.

Diprakarsai oleh Tu-ngang Syndicate (TS), yaitu sebuah komunitas  untuk kajian seni dan budaya Aceh di Yogyakarta, acara ini berlangsung meriah dan mendapat perhatian warga Yogyakarta yang sedang berpawai di jalan Kartini Sagan Yogyakarta. Meski beberapa mobil yang sedang diparkir di depan hotel Sagan sempat mengeluarkan suara alarmnya akibat getaran dari suara meriam bambu tersebut yang keras, namun acara berlangsung tertip dan aman.

Rabu, 09 Oktober 2013

Pusat Pemerintahan Aceh harus pindah

TIDAK usah mengurai alasan panjang, pembakaran istana Aceh oleh pasukan Aceh sendiri tentulah berdasarkan perintah orang-orang penting dan berpengaruh pada masa itu. Tentu sebuah isyarat, bahwa pusat pemerintahan itu dibakar bukan semata agar tidak bisa ditempati oleh musuh, namun supaya tidak juga ditempati kembali oleh orang-orang Aceh, apalagi untuk mendirikan kembali pusat pemerintahannya.

Masa itu, sebelum Belanda belajar bikin ribut, kerajaan Aceh telah pun menjadi salah satu penjajah yang disegani di dunia. Bukan cuma karena orang-Aceh itu hebat-hebat, namun karena letak geografisnya yang strategis untuk menjajah.

Maka dari itu, sebagai salah satu tempat untuk bertengger nyaman menjajah, kerajaan Aceh sangat kuat alasannya untuk dilenyapkan sebelum jatuh ke tangan yang jahil. Maka dibakarlah. Namun celakanya Belanda telah pun paham. Maka tersudutlah kita menjadi subjek terjajah setelah tanah ajaib itu dikuasai.

Pasca perang dengan Belanda, dileburkannya Aceh dalam sumatra utara oleh Indonesia juga bisa dipahami sebagai usaha untuk mengalihkan perhatian terhadap tanah yang menjadi Kuta para raja penjajah tersebut. Agar Aceh tidak kembali menjadi kekuatan yang mengancam wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Celakanya bagi Indonesia bahwa ingatan Aceh belumlah hilang, pertempuran sebagai wujud penolakan pun kembali terjadi, sampai dikembalikannya lagi pusat pemerintahan ke Kutaraja. Tentunya dengan strategi yang juga tidak kalah penting bagi Indonesia, yaitu membatasi akses secara geografis untuk Aceh, agar tidak bisa menjajah kembali. baik lewat laut dan darat.

Tentulah kita melihatnya sampai sekarang, dimana berbagai pelabuhan tidak dapat difungsikan dengan baik untuk kepentingan yang lebih besar bagi Aceh, Sedangkan darat tidak pun begitu dikhawatirkan, karena masih tetap bergantung dengan Sumatra Utara.

Usaha untuk melepas jeratannya bukanlah tidak ada sama sekali, setidaknya telah kita lihat dari berbagai perlawanan fisik sampai metafisik. Namun apalah daya, sepertinya harga diri bukanlah lagi harga mati, akan tetapi satu komoditi yang telah pun diperjualbelikan oleh orang-orang kita sendiri.
Kini, setelah hampir semuanya dikebiri, tinggallah adat seperti halnya cawat lusuh untuk menutupi perih dan luka, sambil sesekali dipertunjukkan di hadapan umum, agar semuanya terlihat tenang dan baik-baik saja.

Sedangkan satu-satunya cara untuk bangkit adalah mengakui kekalahan dan berusaha memperbaiki segala kesalahan, seperti halnya Jepang setelah terkena bom Hiroshima. lalu kembali bekerja untuk mencuci yang kotor-kotor, bau anyir dan bau basi.

Ada dua pertanyaan yang bisa kita ajukan dalam hal ini, yang pertama adalah apa salah kita?, dan yang kedua adalah siapa yang melakukan ini pada kita?. Pertanyaan kedua akan mengantarkan kita pada teori-teori konspirasi dan paranoia, sedangkan pertanyaan pertama akan mengantarkan kita untuk bagaimana melakukannya dengan benar, agar segera kita lebih baik.
Semua pertanyaan tentunya mempunyai kekuatan penting yang bisa mengundang kembalinya semangat dan jati diri kita sebagai orang yang paleng jroeh ateuh rueng donya, yang tidak sekedar bisa menjajah lewat fisik, namun lebih kejam dari itu, yaitu mampu membangun koloni yang peduli terhadap nilai-nilai luhur untuk kepentingan bersama yang lebih baik.

Maka pusat pemerintahan Aceh harus dipindahkan ke Lhokseumawe, supaya mental-mental para penjilat dan penindas pada bekas pemerintahan penjajah itu tidak menjadi bencana yang dapat memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang telah terjalin akrab dalam panji Islam di Aceh. []


Penulias adalah mahasiswa pada Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pecinta kopi dan coklat hangat.
- See more at: http://atjehpost.com/saleum_read/2013/10/10/68590/77/3/Pusat-Pemerintahan-Aceh-harus-pindah?fb_comment_id=fbc_169891823216786_235358_169893169883318#f523ef2c8

Di perantauan, tarian Aceh memprihatinkan

SULIT dipungkiri bahwa dewasa ini begitu banyak seni tari Aceh di luar Aceh yang telah kehilangan rohnya sebagai seni  Aceh. Hal ini bisa dilihat dari adanya kebosanan dan kekecewaan pada penontonnya saat menikmati tarian Aceh dan terfokusnya para pengajar tari yang rata-rata adalah para penari itu sendiri dalam menggubah bentuk semata, tanpa memperhatikan konteks nilai yang harus diisi ke dalam tarian tersebut.

Maka tidak heran ketika kita menghadiri sebuah pertunjukan yang menampilkan seni tari Aceh di luar Aceh, tepukan tangan penonton hanyalah sebuah energi atau upaya terfokus untuk mengapresiasi bentuk gerakan dengan kecepatannya semata, tanpa adanya suatu roh yang bisa menenggelamkan  jiwa penonton dan berusaha memperbaiki suatu krisis yang ada di dalamnya lewat rasa damai dan kepuasan rohani, sehingga tepukan bukanlah tepukan biasa.
Sebagai tanda dari adanya suatu fokus tentang bentuk yang miskin kreatifitas tersebut, ada baiknya saya paparkan mengenai betapa banyak tarian Aceh yang syair-syairnya tidak sesuai zamannya lagi, sehingga jangan heran ketika konsep acara, masa, atau tempat dimana tarian itu harus dipertunjukkan sering tidak nyambung dengan syair yang dibawakan. 

Selain itu, Fenomena kesalahpahaman dalam penyebutan nam atarian Aceh juga semakin memprihatinkan. Sebagai contoh, tari likok pulo, tari ratoh duek, dan tari rampoe misalnya, jenis-jenis tarian tersebut sering dianggap sebagai tarian saman. Hal  ini bukanlah sebuah kebetulan, karena penggubahan-penggubahan bentuk yang  dilakukan yang minim kreatifitas, yaitu di antaranya dengan teknik bongkar pasang jurus dari beberapa tarian khas di Aceh lainnya ke dalam sebuah tarian akan berdampak pada kebingungan publik untuk mengidentifikasi nama tarian.

Kebingungan tersebut tidak cuma terjadi pada penonton, namun juga pada pengajar dan penari itu sendiri. Maka dari itu, tari likok pulo dan ratoh duek sendiri seiring dalam penggubahannya terkadang harus dinamakan tari rampoe (campuran), dikarenakan bentuknya yang  tidak karuan, namun dari itu masih bisa mengelabui penonton untuk menganggapnya sebagai tari saman yang telah diakui UNESCO  tersebut.

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan kita, mengingat terfokusnya sebuah karya seni pada bentuk dan untuk materialism semata tanpa memperdulikan unsur ekstrinsiknya akan juga berdampak pada hilangnya pamor sebuah karya seni itu sendiri. Dan jika ini terjadi, sebuah karya seni berbentuk tari akan terusberubah-ubah secara bentuk, karena ketidaksanggupannya memediasi nilai-nilai yang metafisik sebagai penguat sebuah tarian dan manusianya.

Seni yang berfungsi sebagai bangunan dan harapan kultural yang mempunyai kemampuan untuk menyaring dan mengevaluasi dunia pun bisa rubuh bersama ketidakberdayaan manusia untuk menyaring dan mengevaluasi krisis yang terjadi atas dirinya, maka seni dalam posisi tersebut bisa dianggap telah mati.

Sebagai Ancaman
Adanya krisis seperti ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia tari Aceh, mengingat minimnya seniman tari baik yang berada di luar Aceh dan di dalam Aceh sendiri yang mampu memahami dan mengajarkan tarian Aceh secara baik dan berkualitas. Untuk itu, dibutuhkan suatu perhatian khusus dari pemerintah Aceh terhadap persoalan ini, baik denga nmenyediakan bahan-bahan berkualitas tentang seni tari Aceh, mengadakan seminar maupun diskusi ruti nuntuk membahas perkembangan terkini senitari Aceh yang melibatkan pelaku-pelaku seni taridi luar Aceh. Mengingat perkembangan seni tari Aceh di luar Aceh yang semakin pesat dan tidak terkendali akan mengancam seni tari Aceh secara keseluruhan dan perlahan juga akan merubuhkan citra positif dari kebudayaan Aceh itu sendiri.

Maka dibutuhkan sebuah upaya yang serius untuk meminimalisasi ancaman ini, mengingat kesenian tari Aceh bukan cuma soal tari-menari semata, namun juga kualitas yang harus tetap dilekatkan di dalamnya, supaya kesenian Aceh yang telah melegenda tersebut benar-benar mampu memberikan suatu pencerahan dan daya pikat yang kuat bagi dunia. Hal ini penting di era globalisasi sekarang, dimana pertarungan budaya semakin sengit dan akan menyingkirkan kualitas-kualitas rendah dari material-material budaya yang bersaing.

Kesenian Aceh di luar Aceh sebagai media promosi gratis untuk Aceh yang seharusnya juga perlu didukung, seperti halnya pesta kebudayaan di Aceh. Karena eksistensinya yang lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan kegiatan promosi dan pesta yang hanya bisa menghamburkan uang semata tanpa mendatangkan keuntungan yang seimbang.

Sebagai Wajah Aceh
Sebagai salah satu jenis seni yang telah dikenal dunia tersebut, tentunya sangat sayang untuk kita coreng dan telantarkan, mengingat tarian Aceh di luar Aceh telah pun menjadi wajah dari Aceh itu sendiri, yang bisa menjelajah dengan luas lewat keindahan dan wacana keacehan di dalamnya, baik untuk menegaskan eksistensi, membangun ekonomi maupun untuk membangkitkan rasa percaya diri bagi orang-orang Aceh.

Sewajarnya jika wajah tersebut terus dijaga dan dihiasi dengan warna-warna pelangi keacehan yang mumpuni, dan tidak tergerus oleh nafsu-nafsu yang hanya bersifat materi namun miskin esensi. Karena yang begitu tidaklah sebuah keberuntungan apabila terus dirayakan untuk dirusak. Semoga para pemimpin, seniman dan penari cepat sadar dan segera memperhatikan masalah ini, walaupun tidak mendatangkan keuntungan secara kelompok maupun pribadi.[]

Tu-ngang Iskandar, mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, pemerhati budaya Aceh, aktif pada komunitas Seniman Perantauan Atjeh (SePAt)
- See more at: http://www.atjehpost.com/saleum_read/2013/09/19/66491/77/3/Di-perantauan-tarian-Aceh-memprihatinkan#sthash.axJfjedC.dpuf

ART|JOG|13 ‘Maritime Culture’

Aceharts Yogyakarta - 158 karya seni rupa kontemporer dari 115 seniman kembali mengejutkan publik di Yogyakarta. Sebuah bursa seni rupa kontemporer yang unik dan merupakan art fair-nya para seniman dengan karya seni rupa kontemporernya. Adalah kali keenam acara ini telah berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta. Yaitu ART|JOG 2013 yang merupakan perhelatan senirupa Indonesia dan Asia, berlangsung sejak tanggal 6 sampai 20 Juli di tahun 2013 ini.
Setelah tahun lalu ART|JOG mengusung tema 'Looking East-A Gaze of Indonesian Contemporary Art', tahun ini tema yang diusung ART|JOG|13 adalah ‘Maritime Culture’, sebuah tema yang dimaksudkan sebagai pintu masuk pola pikir maritim, dimana Indonesia mempunyai posisi penting dalam arus perkembangannya, baik dari sisi politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Seperti penyelenggaran sebelumnya, pameran ART|JOG|13 terbagi menjadi 3 kategori, yaitu Commission Work, Special Presentation, dan Art Fair. Dalam Commission Work, Iwan Effendi feat Papermoon Puppet Theatre diundang untuk menyulap halaman depan TBY dengan instalasi komidi putar raksasanya, Special Presentation menghadirkan desainer grafis dan tipografer Internasional Stefan Sagmeister, sedangkan Art Fair yang menjadi urat nadi utama penyelenggaraan ART|JOG dilakukan melalui mekanisme Open Call yang terbuka bagi publik. Dari Open Call Application yang dimulai pada 1 Maret sampai 13 Mei 2013, terdapat 1.423 proposal karya dari 829 seniman yang masuk ke meja panitia, seniman tersebut berasal dari 5 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Jepang, Australia, dan Amerika. Namun pada akhirnya seleksi berhasil memilih 158 karya seni rupa kontemporer dari 115 seniman untuk diikutkan pada pameran kali ini.
ART|JOG|13 juga menyelenggarakan serangkaian program yang diperuntukkan bagi publik juga, yaitu Art Discussion dan Studio Visit.  “Building Indonesian Contemporary Museum” merupakan tajuk yang diangkat dalam Art Discussion dengan menghadirkan Tony Ellwood (National Gallery of Victoria) sebagai pembicara utama serta para praktisi seni dan aparatur negara. Semantara itu, SaRanG milik Jumaldi Alfi, Studio Biru milik Agus Suwage dan Studio Nasirun menjadi destinasi dalam program Studio Visit.
Selain itu ART|JOG juga mempersembahkan Young Artist Award, sebuah penghargaan bagi seniman muda terbaik peserta ART|JOG yang berusia maksimal 33 tahun. Tiga penghargaan tersebut diterima oleh Harry Prasetyo dengan judul karyanya Behind Teritory Line (conflict and agreements), Michael Binuko Sri Herawan dengan judul karya Megaptera Novalevitae Series, dan Theresia Agustina Sitompul dengan judul karyanya ”Noah’s Ark”. Sedangkan Aminudin TH. Siregar, Farah Wardhani serta Hendra Wiyanto adalah tiga kurator  yang melakukan penjurian.
Acara yang dibuka oleh Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Perekonomian RI) ini juga dihadiri oleh 8000 pengunjung, yang juga terdapat Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Ir Wiendu Nuryanti, pengusaha/pemilik Susi Air Susi Pudjiastuti, budayawan Eros Djarot serta para pengusaha/kolektor senirupa dari berbagai kota di Indonesia.
Sementara itu menurut Bambang "Toko" Wicaksono yang merupakan Kurator ART|JOG|13, “dari 115 seniman yang terpilih tersebut  berasal dari Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Bali, Magelang, Semarang, Jepang, Malaysia dan Australia. Dari jumlah tersebut, 82 orang merupakan perupa asal Yogyakarta”. Tidak heran memang, sebagai sarang seniman di Indonesia yang telah mengadakan acara-acara seni tahunan bertaraf international, Yogyakarta juga merupakan salah satu kota dengan iklim berkesenian yang sangat mumpuni, dimana hampir tiap hari kita bisa menyaksikan pameran seni rupa. Hal ini tentunya bukan cuma didukung oleh banyaknya seniman dan ruang pendidikan yang tersedia semata, namun terlebih juga karena pemerintah Yogyakarta melalui dinasnya mendukung sepenuhnya keberadaan kesenian, baik melalui fasilitas gedung, galeri, maupun pendanaan dan penunjang kesenian lainnya.

Hal ini tentunya lebih dari cukup sebagai pembanding dunia kesenian Aceh yang minim dukungan pemerintah. Padahal jika ditilik lebih jauh, kejayaan Aceh tempo dulu tidak pernah lepas dari yang namanya seni, karena seni merupakan alat ukur atas besarnya peradaban suatu bangsa. Maka seharusnya ruang-ruang seni diserahkan kembali pada masyarakat sebagai pewaris sah proses kebudayaan. 
Tragedi besar seperti perang dan tsunami setidaknya mampu mendatangkan kekhawatiran kita mengenai kusutnya peradaban atas nama Aceh. Setelah perang dan tsunami berhenti sudah barang tentu kesenian adalah salah satu hal yang harus mendapat perhatian serius pemerintah, terutama untuk tersedianya ruang-ruang ekspresi bagi masyarakat. Karena bagaimanapun, kesenian tidak bisa lepas dari eksistensi manusia atau suatu bangsa. Perang yang berlangsung lama di Aceh memang telah mengkerdilkan dunia kesenian, namun jika setelahnya iklim tenang dan damai pun tidak mampu mendatangkan kembali kesadaran untuk membangun kesenian dan menempatkannya kembali dalam diri masyarakat, maka manusia Aceh itu sungguh semakin terancam fisik dan jiwanya disaat sedang diam. Maka tidak salah jika mengatakan bahwa justru damailah musuh yang paling besar kita, karena telah mengabaikan hak-hak rakyat.***Tu-ngang Iskandar

Tu-ngang Iskandar Dalam Jejak Seniman Muda Aceh

Aceharts Yogyakarta- Gerakan seni Aceh di Yogyakarta membawanya dalam sebuah realita estetis. Berbagai empiris hadir membangkitkan jiwa-jiwa mati. Konflik yang berkecamuk pun tak menyurutkan niatnya  berjuang, menggoreskan tintanya di kanvas. Kiprahnya-pun wajib diperhitungkan.
Lahir di Leubok Ruseb, salah satu Gampong di pedalaman Aceh Utara pada 31 Desember 1984 dengan nama asli Iskandar Ishak. Hobi melukis dan cita-cita menjadi seniman adalah impiannya sejak dari Madrasah Ibtidaiyah
Semasa konflik kembali berkecamuk di Aceh, tu-ngang yang saat itu baru memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah salah satu orang yang aktif merekam wajah dari konflik yang terjadi melalui gambar, baik pada kertas maupun pada dinding sekolah. Salah satu yang menjadi kesukaannya adalah menggambar suasana, yaitu pertempuran antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan suasana pengungsian. Namun semua itu sangat disayangkan Tu-ngang Iskandar, karena gambar-gambar yang didokumentasikan tersebut terpaksa harus dibakar oleh orang tuanya saat terjadi pengepungan markas GAM tidak jauh dari rumahnya yang hampir mengorbankan nyawa dari Tu-ngang Iskandar. Pengepungan yang terjadi tersebut, walaupun sebagai tragedi, adalah juga babak baru dalam perjalanan Tu-ngang Iskandar, karena beberapa hari setelah kejadian tersebut, dia dibawa oleh kakak pertamanya ke Kota Lhokseumawe agar menjauh dari pusaran konflik dan agar bisa melanjutkan sekolah menengahnya disana.
SMK Negeri 4 Lhokseumawe jurusan kriya adalah tempat awal dimana Tu-ngang Iskandar bersentuhan langsung dengan pendidikan seni, tepatnya di tahun 2001. Jurusan kriya dipilihnya karena memiliki pelajaran yang memadai tentang seni rupa. Perkenalan ini pun tidak sia-sia, sebagai wujud dari totalitasnya belajar dan berkarya, Tugas Akhir Tu-ngang Iskandar berupa seni kriya pun dinobatkan sebagai  karya terbaik, sebelum akhirnya dia dipilih untuk mewakili Aceh Utara pada lomba melukis tingkat Provinsi di Banda Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Tahun 2004. Tidak pun tertarik pada pengumuman pemenang lomba tersebut karena merasa keterwakilannya untuk membawa nama baik Aceh Utara tidak diperhitungkan, akhirnya dia pun memisahkan diri dari kontingen dan kembali ke Lhokseumawe.
Selang beberapa hari kemudian, pada pertengahan 2004, sebelum tsunami melanda Aceh. Dia pun hijrah ke Yogyakarta untuk mengejar cita-citanya menjadi pelukis. Sempat mengecap pendidikan Diploma pada Politeknik Seni Yogyakarta (POLISENI) untuk jurusan Desain Komunikasi Visual, dan Pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk Program Peningkatan Kemampuan Mengajar (PPKM), sebelum akhirnya pada tahun 2009 melanjutkan Program Sarjana pada Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sekarang, selain aktif melukis, menjadi konsultan desain, mengikuti pameran di berbagai kota di Indonesia, dan menjadi anggota pada komunitas Diskom Drawing Foundation (DDF) di Yogyakarta, kegiatan yang paling menarik minatnya adalah mempengaruhi anak muda yang ia temui untuk bersikap kritis dan memiliki semangat yang tinggi dalam belajar, berorganisasi dan terus mewujudkan cita-citanya.
Sebagai pemuda yang bersentuhan langsung dengan konflik Aceh, Tu-ngang Iskandar paham betul tentang bentuk dari sebuah kehancuran, terutama pada dunia kesenian. Untuk itulah, sebagai sikap kecintaannya terhadap Aceh, pada tahun 2008 bersama beberapa sahabatnya mendirikan Komunitas Seniman Perantauan Atjeh (SePAt), yaitu salah satu komunitas untuk menciptakan seniman, apresiator seni, untuk menghapus trauma akibat konflik dan tsunami, mempromosikan seni Aceh, dan membangun mental yang sehat masyarakat Aceh di perantauan. Sebagai organisasi lintas kota yang telah sukses mengadakan berbagai Acara besar tahunan seperti Balee Seni dan Art-jeh Night, SePAt hendak mengorganisir para pelaku seni dan aktivitas seni luar Aceh untuk bersatu membangun Aceh dari luar.
Tu-ngang Syndicate (TS) yang merupakan ruang presentasi karya dan diskusi lintas wacana dibangunnya kemudian bersama beberapa diaspora Aceh, untuk memberikan bahan-bahan berkualitas yang ada di sekelilingnya dalam melatih kecerdasan berfikir dan sikap kritis calon intelektual muda yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta.
Bermacam acara pernah diadakan Tu-ngang Syndicate (TS), seperti diskusi "otakku damai dan merdeka" dalam memperingati hari perjanjian damai Aceh dan kemerdekaan Indonesia, kajian budaya Aceh bersama seniman Aceh di Yogyakarta, malam penggalangan dana untuk korban banjir Pidie, Rembuk Mahasiswa Aceh Nusantara (REMAN), diskusi tentang konflik di Thailand yang menghadirkan komunitas Fatani di Yogyakarta, diskusi bertemakan "problematika punk di Aceh" yang menghadirkan komunitas "Punk" Yogyakarta, diskusi untuk kemanusiaan yang menghadirkan komunitas Papua .
di Yogyakarta, diskusi "sejarah dan sastra" yang menghadirkan penulis buku Samudera Pasai Putra Gara, dan diskusi tentang "motif hias dan kaligrafi pada batu jirat komplek pemakaman raja-raja Pasai" dengan pemateri Dedy Kalee, peneliti batu nisan pada Central Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH).
Dalam kesehariannya, "Tungang", begitu dia disapa. mengenai nama ini, Tu-ngang menjelaskan "itu hanya nama untuk menggambarkan jiwa keberanian dan pemberontakan, untuk menuju kreatifitas, bukan kenakalan moral" ungkapnya seriaus.
Namun pada dasarnya seniman berambut gondrong yang sangat tertarik pada ilmu semiotika ini sangat jarang mau diajak bicara serius, terutama mengenai hal-hal yang menurutnya hanya pantas ditertawakan. hal ini karena selera humornya yang suka meledak-ledak. ***dedykalee

Berlebaran di Kota Gudeg

SEBAGAI salah satu momen tahunan yang paling ditunggu umat Islam, Lebaran adalah suatu persinggahan yang paling mengesankan setelah melewati berbagai ujian di puasa Ramadan. Muslim merayakannya dengan berbagai ekspresi. Tidak terkecuali bagi orang-orang yang tidak bisa berkumpul dengan keluarga tercintanya. Untuk itu lebaran adalah juga momen yang paling mengesankan bagi mahasiswa Aceh di perantauan, karena akan merasakan tangis dan sedih sambil sesekali berusaha tersenyum lebar tanpa kegirangan.

Salat Id yang sebelumnya diiringi takbir sejak dari malam buta juga proses bagi pengembalian rasa rindu terhadap keluarga dan orang-orang di kampung halaman. Kerinduan yang terkadang berubah-ubah wujud menjadi resah, sedih, dan sekaligus senang tersebut seakan-akan menyatu dalam alunan takbir khas Ramadhan yang menyayat dan sanggup melemaskan otot-otot para diaspora yang sedang terlentang bisu menunggu pagi terlewatkan.

Shalat Id yang dimulai pada pagi hari terkadang tak pelak juga terlewatkan oleh dinginnya bantal setelah basah oleh air mata sedih tadi malam. Tak ada baju yang baru dibeli, sarung yang baru dilepas merknya, daging yang baru dimasak, dan kemenangan baru yang membekas dalam ingatan untuk dirayakan. Yang ada hanya air mata baru yang terkadang tak tertahan setelah mendengar suara orang tua dan orang tercinta lewat telepon seluler.

Kebiasaan berkumpul setelah salat Id untuk saling bermaaf-maafan, satu hal yang paling mengesankan bagi mahasiswa Aceh di Yogyakarta. Pada momen tersebut kita akan melihat wajah-wajah penuh senyum tatkala sedang bermaaf-maafan di serambi-serambi asrama atau kos kos-an. Senyuman terpaksa merupakan suatu hal yang lumrah saat bertemu sesama mahasiswa yang berlebaran di luar kampung halaman. Sikap berpura-pura senang dengan kondisi perut yang belum terisi daging meugang adalah hal yang amat memberatkan kaki untuk berjalan-jalan.

Kondisi tersebut memang tidak berlangsung sepanjang hari, karena sesekali rasa bangga sebagai perantau juga muncul, terutama ketika memperkenalkan diri untuk merespon perkenalan warga Jogja yang dengan ramah menyebut nama dirinya terlebih dahulu: “Sugeng Riyadi Mas,” ucap mereka saat bersalaman. Sebuah kata-kata yang kemudian diketahui sebagai ucapan selamat hari raya dalam bahasa Jawa dan bukanlah sebuah nama seperti yang ditafsirkan sekilas oleh para diaspora Aceh yang sedang berada di Pulau Jawa.

Berkunjung ke tempat orang tua Aceh atau tokoh-tokoh Aceh yang ada di Yogyakarta merupakan hal yang mengesankan karena disana kita bisa menyicipi sedikit makanan khas seperti timpan dan daging rendang. Tentunya setelah bersalaman dan sedikit bercanda untuk menggambarkan keakraban. Namun suasana tersebut tak jua bertahan lama karena setelah itu ingatan kembali menuju pada tangan dan masakan orang tua di kampung yang belum sempat dirasakan.

Toko-toko dan warung makan yang tertutup rapi menambah sedikit tegang jika beras dan mie instan tidak disiapkan jauh hari sebelum mendekati Lebaran. Raut wajah yang tidak terurus dan tubuh yang semakin kerempeng adalah ciri khas para mahasiswa setelah melewati bulan Ramadan. Hal ini tentunya bisa dipengaruhi dari konsumsi gorengan saat berbuka, makan sahur yang tidak teratur dan minim gizi untuk kesehatan, ditambah tidur yang tidak teratur karena sering bergadang sampai larut malam. Sedangkan bagi mereka yang baru menginjakkan kaki di kota Gudeg ini, tentu akan terkendala selera makan. Terutama karena manisnya berbagai masakan yang tersedia di warung-warung di pinggir jalan.

Terakhir saya ingin juga menyampaikan bahwa hidup di perantauan teramatlah baik untuk mengasah mandiri dan kepekaan. Di sini kita bisa mendapatkan saudara sebanyak mungkin dan beragam, baik dengan membantu dan siapa tahu kalau lagi sulit bisa dipinjami uang. Hal yang harus diingat bahwa tidak ada yang tidak mungkin dalam iklim pendidikan.

Untuk itu jangan berfikir kolot dengan membatasi diri untuk berteman karena zaman sudah semakin terbuka untuk pemikiran. Siapa yang bisa memprediksi baik, tidak baik atau sukses, tidak suksesnya seseorang? Selamat berhari Lebaran dan selamat belajar kembali
- See more at: http://www.atjehpost.com/read/2013/08/07/62086/0/1/Berlebaran-di-Kota-Gudeg#sthash.yLaJYBW2.dpuf

Jumat, 20 September 2013

Ketika Budaya Bergejolak

Mempersatukan negeri yang terdiri dari berbagai suku memanglah terbilang rumit. Terlebih tanpa adanya suatu tujuan bersama yang kuat. Maka bertambah rumit untuk menjalin kata sepakat, saat kita telah berdamai dengan musuh sekalipun. Karena seringkali akhir dari setiap tindakan bersama adalah sebuah perpisahan dan perpecahan. Tentunya dengan berbagai alasan yang seringkali dibuat-buat.
Namun pada dasarnya adalah sebuah gejolak baru dari nasionalisme budaya. Dimana ianya lebih kuat dari nasionalisme terhadap lembaga-lembaga atau ideologi apapun. Lihat saja berbagai gesekan terhadapnya, bahkan bisa menimbulkan perang yang amat menakutkan.
Orang-orang pada pusaran industri politik seharusnya lebih bijak dalam mengkalkulasikan untung dan rugi, karena melebihi dari apapun, persoalan nilai-nilai amatlah penting dibandingkan kemajuan angka-angka yang tidak pasti untuk membangun kemanusian. 
Penolakan simbol-simbol dan kebijakan lainnya dari masyarakat adalah juga suatu petanda, bahwa diperlukan sikap moderat dan kesediaan berkompromi lintas budaya dalam setiap mewujudkan tujuan bersama, agar tidak benar-benar hancur. Sikap seperti itu pernahlah ditunjukkan Italia di tahun 1970-an, ketika Negara tersebut lebih memilih mendesentralisasi kebijakan publiknya dibandingkan menekan sekecil-kecilnya angka pemberontakan. Hingga akhirnya bukan Cuma tingkat kepercayaan yang berhasil dinaikkan Italia, namun juga telah mewujudkan harmonisasi yang indah dari perbedaan budaya.
Disinilah letak pikir dalam sebuah negara, ketika rakyat bisa dipahami sebagai makhluk yang berbudaya dibandingkan melihatnya dari kacamata angka untuk keuntungan beberapa kelompok saja. Nilai-nilai dan sikap dalam berpolitik tentunya adalah sebuah ikhwal yang menentukan dalam pembangunan, dan itu semua berasal dari kekuatan budaya.
Jika hari ini beberapa wilayah di Aceh dengan sangat percaya diri menuntut pemisahan diri dari Aceh, maka bukan tidak mungkin orang-orang yang menganggap dirinya Aceh sekalipun akan juga menuntut dirinya mundur dari Aceh dikarenakan tidak menemukan sesuatu yang pantas dibanggakan di dalamnya. itu semua bukan remeh, mengingat nilai-nilai yang ditemukan dalam material-material budaya lebih bisa meyakinkan manusia tentang bagaimana itu hidup berkualitas, dibandingkan mengekor pada kuantitas gaya hidup yang hanya bisa menjijikkan dan kehilangan harga diri.
Maka marilah kita evaluasi kembali, Tentang apa yang dikatakan teungku Hasan Tiro sebagai kepentingan nasional Aceh, yaitu suatu hal yang terdengar melebihi dari kepentingan apapun selainnya, termasuk kepentingan pribadi dan kelompok. Adalah semangat bersama untuk membangun di lintas bidang dengan beragam budaya dan nilai-nilai yang tetap harus mengikat pada masing-masingnya, sebagai fondasi yang kuat di setiap tempat. 
Untuk itulah, sebagai diri yang mengaku dirinya berbudaya, semua wilayah harus konsisten dalam bersikap seperti dalam budaya adanya. Hal tersebut untuk saling menguatkan diantara budaya-budaya lain yang telah melemah dikarenakan berbagai kondisi dan tragedi yang telah menghancurkan. Semoga dengan nilai-nilai dan sikap yang masih terjaga, Aceh insyaAllah bisa terwujud menjadi makmur, sejahtera dan bahagia.***Tu-ngang Iskandar