Translate

Jumat, 20 September 2013

Ketika Budaya Bergejolak

Mempersatukan negeri yang terdiri dari berbagai suku memanglah terbilang rumit. Terlebih tanpa adanya suatu tujuan bersama yang kuat. Maka bertambah rumit untuk menjalin kata sepakat, saat kita telah berdamai dengan musuh sekalipun. Karena seringkali akhir dari setiap tindakan bersama adalah sebuah perpisahan dan perpecahan. Tentunya dengan berbagai alasan yang seringkali dibuat-buat.
Namun pada dasarnya adalah sebuah gejolak baru dari nasionalisme budaya. Dimana ianya lebih kuat dari nasionalisme terhadap lembaga-lembaga atau ideologi apapun. Lihat saja berbagai gesekan terhadapnya, bahkan bisa menimbulkan perang yang amat menakutkan.
Orang-orang pada pusaran industri politik seharusnya lebih bijak dalam mengkalkulasikan untung dan rugi, karena melebihi dari apapun, persoalan nilai-nilai amatlah penting dibandingkan kemajuan angka-angka yang tidak pasti untuk membangun kemanusian. 
Penolakan simbol-simbol dan kebijakan lainnya dari masyarakat adalah juga suatu petanda, bahwa diperlukan sikap moderat dan kesediaan berkompromi lintas budaya dalam setiap mewujudkan tujuan bersama, agar tidak benar-benar hancur. Sikap seperti itu pernahlah ditunjukkan Italia di tahun 1970-an, ketika Negara tersebut lebih memilih mendesentralisasi kebijakan publiknya dibandingkan menekan sekecil-kecilnya angka pemberontakan. Hingga akhirnya bukan Cuma tingkat kepercayaan yang berhasil dinaikkan Italia, namun juga telah mewujudkan harmonisasi yang indah dari perbedaan budaya.
Disinilah letak pikir dalam sebuah negara, ketika rakyat bisa dipahami sebagai makhluk yang berbudaya dibandingkan melihatnya dari kacamata angka untuk keuntungan beberapa kelompok saja. Nilai-nilai dan sikap dalam berpolitik tentunya adalah sebuah ikhwal yang menentukan dalam pembangunan, dan itu semua berasal dari kekuatan budaya.
Jika hari ini beberapa wilayah di Aceh dengan sangat percaya diri menuntut pemisahan diri dari Aceh, maka bukan tidak mungkin orang-orang yang menganggap dirinya Aceh sekalipun akan juga menuntut dirinya mundur dari Aceh dikarenakan tidak menemukan sesuatu yang pantas dibanggakan di dalamnya. itu semua bukan remeh, mengingat nilai-nilai yang ditemukan dalam material-material budaya lebih bisa meyakinkan manusia tentang bagaimana itu hidup berkualitas, dibandingkan mengekor pada kuantitas gaya hidup yang hanya bisa menjijikkan dan kehilangan harga diri.
Maka marilah kita evaluasi kembali, Tentang apa yang dikatakan teungku Hasan Tiro sebagai kepentingan nasional Aceh, yaitu suatu hal yang terdengar melebihi dari kepentingan apapun selainnya, termasuk kepentingan pribadi dan kelompok. Adalah semangat bersama untuk membangun di lintas bidang dengan beragam budaya dan nilai-nilai yang tetap harus mengikat pada masing-masingnya, sebagai fondasi yang kuat di setiap tempat. 
Untuk itulah, sebagai diri yang mengaku dirinya berbudaya, semua wilayah harus konsisten dalam bersikap seperti dalam budaya adanya. Hal tersebut untuk saling menguatkan diantara budaya-budaya lain yang telah melemah dikarenakan berbagai kondisi dan tragedi yang telah menghancurkan. Semoga dengan nilai-nilai dan sikap yang masih terjaga, Aceh insyaAllah bisa terwujud menjadi makmur, sejahtera dan bahagia.***Tu-ngang Iskandar

Seni dan kehidupan

Aceharts Yogyakarta- Kita mulai saja dengan menjelaskan bahwa seni adalah sebuah kebutuhan hidup, seperti halnya perut yang membutuhkan lobang pembuangan. Maka sebagai makhluk yang berekspresi, seni merupakan suatu ruang bagi tersalurnya ekspresi secara baik, supaya hidup tidak melarat seperti kejadian kembung perut akibat angin tersumbat.
Sebagai makhluk yang memiliki rasa, kehidupan manusia tidak pernah lepas dari peristiwa seni, karena seni adalah juga rasa, lalu terjadilah suatu peristiwa dalam hidup seperti saat berkaca, berhias, memilih barang-barang, berbicara, bergerak, dan lainnya, sungguh pun waktu penghayatan terhadap rasa atau peristiwa yang menjadi pengalaman estetik hanya sesaat saja, namun pengalaman akan rasa itu sangat membahagiakan manusia. Oleh karena itu manusia ingin mempertahankan kebahagiaan itu dengan memperpanjang, bahkan mengabadikan rasa estetik yang tidak abadi itu melalui karya seni yang diciptakan.
Sebagai seni, tidak pun kemanfaatannya hanya sebagai media untuk melampiaskan kemarahan, melakukan kritik, pemujian dan lainnya. Namun dari itu, perannya dalam mengembangkan kesadaran dan membantu memajukan sistem sosial melalui berbagai bidang adalah wajib tidak diabaikan. Diantara nya pada bidang pendidikan, seni telah menjadi mediator penyampaian pesan dalam proses belajar mengajar. Berbagai metode yang menghadirkan seni telah dikembangkan, baik melalui musik, permainan (game), ilustrasi, poster, lukisan, seni peran, humor dan lainnya. Lalu di bidang industri, seni juga memiliki fungsi yang tidak bisa disanggah, keberadaan seni yang menciptakan produk-produk kreatif dan estetis telah mendatangkan nilai ekonomis yang tinggi dan mampu membangun tatanan sejahtera masyarakatnya. Sebagai bukti, Jepang misalnya, sebuah bangsa di benua Asia yang berhasil membangun masyarakatnya dan mensejajarkan dirinya secara cepat dengan Negara-negara Barat setelah kalah pada perang dunia ke-II, dan tiada lain diri kunci keberhasilan Jepang adalah karena pemanfaatan yang maksimal terhadap nilai-nilai kearifan yang tersisa dalam kebudayaannya, terutama dari keseniannya yang sangat menonjol dan telah menciptakan iklim kreativitas yang luar biasa.
Di Indonesia juga ada Bandung, Yogyakarta, dan Solo yang juga berhasil mensejahterakan masyarakatnya dengan mempertahankan seni sebagai basis kreativitas. Dalam bidang kesehatan pun, seni tidak hanya menjadi media terapi psikis dan kejiwaan karena mampu untuk meningkatkan kemampuan kognitif, ingatan, mengurangi stres dan depresi, meningkatkan kemampuan mata, telinga dan panca indera lainnya. Dan dalam bidang keagamaan pun juga, kemunculan seni sangat berguna untuk menjadi media dalam menyampaikan nilai-nilai islami, lihat saja karya-karya dalam bentuk seni sastra yang diciptakan para ulama tempo dulu, diantaranya yaitu Ali Ibn Abi Thalib melalui Nahjul Balaghah (puncak kefasihan), Rumi dengan al-Mastnawi, al-Ghazali dalam karya Kimiya al-Sa’adah (Kimia kebahagiaan), dan Ziryab, penyair muslim Andalusia yang mengalahkan kedigjayaan para seniman kerajaan melalui untaian bait syair syahdunya. Begitu pun sang penyair sekaligus ulama besar Aceh Hamzah Fansury era kesultanan Aceh Darussalam yang mencerahkan keluhuran pekerti masyarakat dengan Syair masyhurnya “perahu”. Tidak hanya seni sastra, seni rupa, seni pertunjukan dan musik pun telah menunjukkan perannya yang nyata melalui ornament-ornamen, arsitektur-arsitektur, kaligrafi, tari-tarian, irama-irama dalam membaca Al-Qur’an, shalawat, dan zikir.
Dari uraian diatas, seni seyogyanya menjadi salah satu barometer dalam membangun manusia, terutama karena seni memiliki hubungan integralistik dengan kehidupan, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara horizontal, kesenian mempererat tali persaudaran, merawat kasih sayang, memperhalus budi, mempertajam solidaritas sesama, dan memperkaya khazanah kehidupan. Sedangkan secara vertikal, kesenian meretas jalan menuju Sang Pencipta, mendekat dan bersahabat dengan-Nya, sehingga para sufi sejak era klasik hingga zaman sekarang mengekspresikan puncak spiriualitas mereka dalam aneka karya seni. Karenanya, seni menjadi salah satu sasaran pembangunan yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah. Sejarah telah membuktikan bahwa puncak kegemilangan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas seni budaya.
untuk menjadikan kesenian sebagai salah satu ranah penting pembangunan Aceh, meniscayakan langkah-langkah struktural, kultural, dan sosial menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah, kaum intelektual/ ulama, seniman dan masyarakat. Pra-syarat penting yang harus ditancapkan pemerintah adalah komitmen dan kehendak politik untuk merumuskan berbagai kebijakan pelestarian dan pengembangan seni, baik berupa regulasi, apresiasi, maupun penciptaan kondisi dan lingkungan yang kondusif bagi sebuah kreativitas. Dengan demikian, kita tidak lagi mengatakan bahwa seni terpisah dari pembangunan apalagi kehidupan, sehingga masyarakat memiliki masa lalu yang dapat dirangkul dan masa depan yang diimpikan. Kaum intelektual/ulama berkewajiban untuk meneliti, menulis, dan mengembangkan berbagai khazanah kesenian. Karena sejatinya kita adalah makhluk dengan keindahan, keberagaman, dan berfikir, maka dengan seni kita akan semakin kritis memandang dunia yang semakin kacau balau ini. Hegel lewat tulisannya dalam Philosophy of Fine Art berpendapat, bahwa seni bersikap kritis terhadap dunia untuk menciptakan rasa rindu akan perasaan keindahan yang mampu menyingkirkan segala buruk dan tercela dalam realitas politik praktis. Maka dari itu, kegagalan karya seni memainkan posisi kritisnya adalah akar dari krisis kultural. Ambillah yang baik dari yang lama dalam kesenian, dan perbaharuilah bila ada yang lebih baik. Semoga seni selalu bermanfaat bagi kita makhluk hidup. Wallahu ‘A’lam.

Penulis adalah mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, aktivis untuk seni Aceh, inisiator Seniman Perantauan Atjeh (SePAt).
Fb: Tu-ngang Iskandar. 

NASIONALISME INDONESIA PURA-PURA

Kita mulai dengan menegaskan bahwa tiada sesuatu sanggup bertahan dalam kepura-puraan, tidak terkecuali, karena dunia adalah kenyataan dan manusia adalah makhluk yang tidak kuat menanggalkan dirinya untuk hidup dalam kepura-puraan terus menerus.
Hari ini genap 68 tahun sejak Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka. Warna merah putih dan upacara di tiap sudut telah pun mewarnai tiap tanggal tujuhbelasan di bulan Agustus, tanda bahwa rakyat Indonesia sungguh senang, bahagia dan puas terhadap Negara ini.
Sebagian bahkan lebih lantang lagi mengatakan bahwa “ini adalah bentuk nasionalisme Indonesia, kita harus menghormati bendera beserta tiang-tiangnya, lihatlah anak-anak sekolah dari kemarin sampai hari ini masih berlelah-lelah, bukankah ini bentuk kecintaan?” Ungkap mereka dengan gagah berani.
Baiklah, kita anggap saja itu bentuk, yaitu bentuk nasionalisme sehari untuk menutupi kegagalan sejati para pemimpin dalam membangun bangsa ini. Oleh sebab itulah bendera-bendera dibagi, ultimatum-ultimatum didengungkan sampai ke pelosok-pelosok negeri ini untuk merayakan kemerdekaan semu dan nasionalisme pura-pura. Karena selanjutnya semua rakyat juga akan kembali kepada caci maki mereka masing-masing ketika melihat para nasionalis-nasionalis berduyun-duyun mencuri, hasil-hasil alam bentuk keringat rakyat sudah tidak punya harga jual lagi, sedangkan kekayaan negeri yang melimpah dari Sabang sampai Merauke telah pun dijual ke pihak asing.
Indonesia hanya nama diantara tanah dan air dan bukan hasil diantara keduanya. Sedangkan nasionalisme adalah obat lupa agar rakyat Indonesia menjadi pikun permanen, tanpa perlu meninjaunya kembali, seakan-akan Sukarno adalah makhluk yang sempurna dan telah memikirkannya jauh-jauh hari.
Namun pada hari ini patut kita renungkan kembali apakah nasionalisme Indonesia itu ada atau tidak pada kenyataannya, agar tidak mudah tertipu terhadap ide bodoh dan pura-pura segelintir orang yang mengatasnamakan bangsa yang besar ini. Karena tidaklah bijak memandang sesuatu dari teorinya semata tanpa melihat kenyataan yang sebenarnya.
Karena sejak revolusi Perancis, Nasionalisme telah pun banyak diperdebatkan sampai dewasa ini. Bahkan ratusan buku telah ditulis dalam berbagai bahasa untuk mengupas arti nasionalisme itu. Oleh karenanya, kita tidak perlu mengambil bagian dalam memperdebatkan apakah arti nasionalisme itu, tetapi marilah kita pusatkan perhatian kita untuk menerangkan apa yang bukan nasionalisme itu, tulis Tengku Hasan Tiro dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi Untuk Indonesia”, yaitu salah satu buku yang ditulisnya sebelum memberontak terhadap kesewenang-wenangan Indonesia.
Lebih lanjut beliau juga menulis untuk bangsa ini bahwa nasionalisme itu bukanlah patriotisme. Yang kita perlukan untuk mendirikan Negara ialah patriotisme dan bukan nasionalisme. Patriotisme ialah semangat cinta kepada tanah air dan bangsa yang berpangkal pada perasaan kesedihan mempertahankan diri sendiri, yang dalam pertumbuhannya dirasakan menjadi kewajiban suci, yang dalam pelaksanaannya melibatkan pengorbanan diri sendiri. Patriotisme selamanya tidak bersifat mempertahankan diri, bersifat “passive”, tetapi nasionalisme selalu bersifat menyerang, “aggressive”. Nasionalisme membagi-bagi makhluk manusia dalam golongan-golongan mutlak yang tidak bisa diatasi, di mana golongan sendiri dianggap berada di atas segala kesalahan, lebih-lebih dalam persengketaan dengan golongan yang lain; paham yang membenarkan slogan “benar atau salah negeriku sendiri” tidak mengakui adanya hukum dan keadilan di atas bangsa itu.
Sejarah telah membuktikan pada kita, belum ada satu negara yang berdasarkan nasionalisme itu pernah hidup kekal dalam perdamaian. Semua Negara yang berdasarkan nasionalisme itu berakhir menjadi penyerang dan hancur dalam perpecahan yang menyakitkan. Seperti nasib Perancisnya Napoleon, Jermannya Bismasrc atau Hitler, dan Italinya Mussolini.
Sebenarnya belum pernah ada Negara-negara besar di dunia didirikan atas dasar nasionalisme. Karena jika negara itu adalah negara besar, maka terdiri dari berbagai bangsa didalamnya, untuk itu mustahil nasionalisme dapat didirikan, kecuali hanya terdiri dari satu bangsa saja. Karena setiap bangsa pasti memiliki nasionalisme masing-masing, dan ketika salah satu nasionalisme dipaksakan maka nasionalisme lain juga akan muncul ke permukaan, seperti ditunjukkan Aceh, Papua, dan beberapa wilayah lain di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mendirikan negara Indonesia yang kita perlukan adalah patriotisme Indonesia, yang sudah nyata-nyata dibuktikan oleh perjuangan nenek moyang kita dalam mempertahankan kemerdekaan tanah air kita di masa dahulu. Dan oleh kita sendiri dalam merebut kemerdekaan kita di zaman ini. Bukanlah nasionalisme Indonesia seperti yang digembor-gemborkan oleh sebagian orang yang telah berhasil membuatnya sebagai sumber kemewahan bagi golongan dan pribadi adalah bentuk dari tidak adanya nasionalisme Indonesia itu sendiri, karena yang mereka perjuangkan adalah nasionalisme masing-masing dan bukan kepentingan bersama atas nama nasionalisme Indonesia.
Maka sebagai bangsa yang cerdas marilah kita lihat kembali apakah nasionalisme Indonesia itu benar-benar ada dalam kenyataannya, apakah cukup dengan garuda di dadaku, sedangkan kenyataan hati dan perut selalu perih menjalani kenyataan sehari-hari akibat dari nasionalisme Indonesia yang justru tidak terlihat dalam pertunjukan kenyataan sehari-hari?.
Apakah kita masih menyalahkan bangsa bangsa lain di Indonesia atas nasionalismenya masing-masing, atas rasisme, atas egoisme, dan romantisme mereka karena dari melihat hanya bangsa tertentu dan kelompok tertentu saja yang diuntungkan atas nasionalisme Indonesia?.
Bukankah yang justru menyebabkan Indonesia terpecah-belah adalah karena nasionalisme Indonesia itu sendiri yang terlalu dipaksakan sebagai topeng untuk mengeruk keuntungan dan membangun ketidakadilan atas manusia yang ada di seantero Indonesia? 
- See more at: http://www.atjehtoday.com/article.php?art_id=305#sthash.yQmqYPeO.dpuf