Translate

Rabu, 09 Oktober 2013

Tu-ngang Iskandar Dalam Jejak Seniman Muda Aceh

Aceharts Yogyakarta- Gerakan seni Aceh di Yogyakarta membawanya dalam sebuah realita estetis. Berbagai empiris hadir membangkitkan jiwa-jiwa mati. Konflik yang berkecamuk pun tak menyurutkan niatnya  berjuang, menggoreskan tintanya di kanvas. Kiprahnya-pun wajib diperhitungkan.
Lahir di Leubok Ruseb, salah satu Gampong di pedalaman Aceh Utara pada 31 Desember 1984 dengan nama asli Iskandar Ishak. Hobi melukis dan cita-cita menjadi seniman adalah impiannya sejak dari Madrasah Ibtidaiyah
Semasa konflik kembali berkecamuk di Aceh, tu-ngang yang saat itu baru memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah salah satu orang yang aktif merekam wajah dari konflik yang terjadi melalui gambar, baik pada kertas maupun pada dinding sekolah. Salah satu yang menjadi kesukaannya adalah menggambar suasana, yaitu pertempuran antara pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan suasana pengungsian. Namun semua itu sangat disayangkan Tu-ngang Iskandar, karena gambar-gambar yang didokumentasikan tersebut terpaksa harus dibakar oleh orang tuanya saat terjadi pengepungan markas GAM tidak jauh dari rumahnya yang hampir mengorbankan nyawa dari Tu-ngang Iskandar. Pengepungan yang terjadi tersebut, walaupun sebagai tragedi, adalah juga babak baru dalam perjalanan Tu-ngang Iskandar, karena beberapa hari setelah kejadian tersebut, dia dibawa oleh kakak pertamanya ke Kota Lhokseumawe agar menjauh dari pusaran konflik dan agar bisa melanjutkan sekolah menengahnya disana.
SMK Negeri 4 Lhokseumawe jurusan kriya adalah tempat awal dimana Tu-ngang Iskandar bersentuhan langsung dengan pendidikan seni, tepatnya di tahun 2001. Jurusan kriya dipilihnya karena memiliki pelajaran yang memadai tentang seni rupa. Perkenalan ini pun tidak sia-sia, sebagai wujud dari totalitasnya belajar dan berkarya, Tugas Akhir Tu-ngang Iskandar berupa seni kriya pun dinobatkan sebagai  karya terbaik, sebelum akhirnya dia dipilih untuk mewakili Aceh Utara pada lomba melukis tingkat Provinsi di Banda Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Tahun 2004. Tidak pun tertarik pada pengumuman pemenang lomba tersebut karena merasa keterwakilannya untuk membawa nama baik Aceh Utara tidak diperhitungkan, akhirnya dia pun memisahkan diri dari kontingen dan kembali ke Lhokseumawe.
Selang beberapa hari kemudian, pada pertengahan 2004, sebelum tsunami melanda Aceh. Dia pun hijrah ke Yogyakarta untuk mengejar cita-citanya menjadi pelukis. Sempat mengecap pendidikan Diploma pada Politeknik Seni Yogyakarta (POLISENI) untuk jurusan Desain Komunikasi Visual, dan Pada Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk Program Peningkatan Kemampuan Mengajar (PPKM), sebelum akhirnya pada tahun 2009 melanjutkan Program Sarjana pada Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sekarang, selain aktif melukis, menjadi konsultan desain, mengikuti pameran di berbagai kota di Indonesia, dan menjadi anggota pada komunitas Diskom Drawing Foundation (DDF) di Yogyakarta, kegiatan yang paling menarik minatnya adalah mempengaruhi anak muda yang ia temui untuk bersikap kritis dan memiliki semangat yang tinggi dalam belajar, berorganisasi dan terus mewujudkan cita-citanya.
Sebagai pemuda yang bersentuhan langsung dengan konflik Aceh, Tu-ngang Iskandar paham betul tentang bentuk dari sebuah kehancuran, terutama pada dunia kesenian. Untuk itulah, sebagai sikap kecintaannya terhadap Aceh, pada tahun 2008 bersama beberapa sahabatnya mendirikan Komunitas Seniman Perantauan Atjeh (SePAt), yaitu salah satu komunitas untuk menciptakan seniman, apresiator seni, untuk menghapus trauma akibat konflik dan tsunami, mempromosikan seni Aceh, dan membangun mental yang sehat masyarakat Aceh di perantauan. Sebagai organisasi lintas kota yang telah sukses mengadakan berbagai Acara besar tahunan seperti Balee Seni dan Art-jeh Night, SePAt hendak mengorganisir para pelaku seni dan aktivitas seni luar Aceh untuk bersatu membangun Aceh dari luar.
Tu-ngang Syndicate (TS) yang merupakan ruang presentasi karya dan diskusi lintas wacana dibangunnya kemudian bersama beberapa diaspora Aceh, untuk memberikan bahan-bahan berkualitas yang ada di sekelilingnya dalam melatih kecerdasan berfikir dan sikap kritis calon intelektual muda yang sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta.
Bermacam acara pernah diadakan Tu-ngang Syndicate (TS), seperti diskusi "otakku damai dan merdeka" dalam memperingati hari perjanjian damai Aceh dan kemerdekaan Indonesia, kajian budaya Aceh bersama seniman Aceh di Yogyakarta, malam penggalangan dana untuk korban banjir Pidie, Rembuk Mahasiswa Aceh Nusantara (REMAN), diskusi tentang konflik di Thailand yang menghadirkan komunitas Fatani di Yogyakarta, diskusi bertemakan "problematika punk di Aceh" yang menghadirkan komunitas "Punk" Yogyakarta, diskusi untuk kemanusiaan yang menghadirkan komunitas Papua .
di Yogyakarta, diskusi "sejarah dan sastra" yang menghadirkan penulis buku Samudera Pasai Putra Gara, dan diskusi tentang "motif hias dan kaligrafi pada batu jirat komplek pemakaman raja-raja Pasai" dengan pemateri Dedy Kalee, peneliti batu nisan pada Central Information for Samudra Pasai Heritage (CISAH).
Dalam kesehariannya, "Tungang", begitu dia disapa. mengenai nama ini, Tu-ngang menjelaskan "itu hanya nama untuk menggambarkan jiwa keberanian dan pemberontakan, untuk menuju kreatifitas, bukan kenakalan moral" ungkapnya seriaus.
Namun pada dasarnya seniman berambut gondrong yang sangat tertarik pada ilmu semiotika ini sangat jarang mau diajak bicara serius, terutama mengenai hal-hal yang menurutnya hanya pantas ditertawakan. hal ini karena selera humornya yang suka meledak-ledak. ***dedykalee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar